Aku pernah meletakkan hidupku diatas aliran takdir, aku biarkan segalanya berjalan mengikuti arus. Aku menyerah atas apa-apa saja yang sudah hilang termakan waktu, menjadi masa lalu. singkat kata aku menyerah.
Aku beberapa kali mengalami kegamangan pada masa depanku sendiri.
Suatu malam, entah apa yang terjadi, aku hanya takut, marah, frustasi, sedih, dan segala macam emosi yang negatif itu penuh, memenuhi semua kesadaranku. Aku berpikir apa yang kutakuti, aku mengafirmasi diriku sendiri. Malam itu... aku menangis, aku merasa sangat menderita, aku merasa sangat tidak berdaya, lemah dan, tidak berguna. Perasaan itu begitu menyiksa batinku, aku menuntut penjelasan, apapun akan kulakukan agar segala beban ini lepas dari diriku. Aku mencoba bertanya pada diriku sendiri, tapi semua perasaan itu semakin kuat. Aku tidak mau. Aku tidak rela. Aku menyalahkan semuanya. Realitas, dunia, sosialku, Tuhan, orang yang membawaku kesini, semuanya.
Belati sudah merobek kulitku, darah mengucur deras, kepalaku pusing. Aku ngantuk sekali, beginilah akhirnya itu pikirku. Aku terbangun dirumah sakit, dan mereka meminta penjelasan. Aku terdiam seribu bahasa, aku tak bisa menjelaskannya. Mereka hanya bersyukur aku tak kenapa-kenapa.
Beberapa kali aku mengalaminya, dan rasanya sangat tidak menyenangkan. Aku tersadar, menatap cermin kamarku. Kulihat wajahnya, aku menatapnya, dari matanya terlihat sembab sehabis menangis.
"Lemah, kau sangat lemah, pecundang" itu kataku pada pria yang ada dicermin itu.
Aku merasa sedikit lega, memaki orang yang tepat dan, yang paling pantas disalahkan. Aku dan dia tersenyum.
"apa yang kau takuti ?", "siapa kau ?", "kenapa ?" Aku mulai menanyainya.
Entah pria itu atau aku yang bertanya dan menjawab. Dasar bayanganku. Aku merasa, aku merasa sangat terluka. Tapi bahagia.
Aku merasa seperti baru, aku merasa sangat luar biasa. Seperti rasanya aku membawa bom nuklir. Aku bingung menjelaskannya, rasanya seperti memakai semua jenis narkoba dalam satu waktu.
Sekarang aku merasa sangat kecil. Kepribadianku terlalu egois. Karakterku terasa begitu buruk. Terkadang aku berpikir, kenapa semua harus berjalan begini? kenapa tidak diakhiri saja? Dari apa yang sudah kupunya, aku merasa tidak punya apa-apa, pergi kesana-kemari aku merasa masih berjalan ditempat.
Aku cukup jauh dari rumah, tanpa kabar dan berita, tapi perasaanku berkata
"ini bukanlah rimba", "ini masih aku yang dulu". Tanpa ada perubahan dan stuck, aku seperti memancing ikan kecil.
Aku melihatnya. Aku tidak pernah merasa iba pada mereka yang nasibnya tidak lebih baik dariku, aku tidak perduli pada mereka, justru aku lebih bahagia. Aku bersyukur kalau itu bukan aku. Aku selalu menafikkan seluruh empatiku, itu terlalu naif buatku. Aku tidak perduli dengan berita-berita, wacana-wacana media, kelaparan, pembunuhan, atau penderitaan sejenisnya yang tidak berhubungan langsung denganku, yang aku perdulikan hanyalah diriku sendiri. Toh percuma menaruh simpatiku pada mereka, bagiku iba hanya cocok untuk mereka yang sudah tidak memiliki masalah dihidupnya.
Aku masih terlalu pagi untuk bangun.
Kepalaku tidak sebanding dengan otak-ku.
Aku begitu tidak apa-apa, tidak ada apa-apa..
Comments