Pertama-tama, izinkan saya untuk meminta kalian tenang dan tidak langsung memaki. Ini murni dari dalam hati saya, sungguh saya sudah muak dengan segala dinamika kehidupan di dunia. Masyarakat intoleran yang menyembunyikannya dalam bumbu-bumbu intelektual ataupun masyarakat intoleran yang memang barbarik dan tidak menyembunyikannya. Terang-terangan di tunjukkan, jadi teror atau jadi tontonan menggelikan.
Pada mulanya, saya tertarik menjadi seorang Atheis. Tapi jadi Atheis
menurut hemat saya, apa faedahnya? Saya tahu persis sejak Galilleo
dipenjara, agama sudah kehilangan tempat dalam ilmu pengetahuan. 1648,
tahun ketika perjanjian Westfalen diratifikasi. Agama sudah hancur kala
itu! Ilmu pengetahuan menang. Setidak-tidaknya untuk sementara. Rentang
tahun 1648 sampai 1945, saya melihat melalui sejarah bahwa
berlomba-lombalah bangsa-bangsa penguasa ilmu pengetahuan menjelajah
(Baca: Menajajah) dunia. Waktu sekolah saya ingat betul bagaimana
menghapal rumus Newton adalah sebuah keharusan. Newton yang jenius,
Newton yang agung. Namun apakah Newton peduli dengan genosida terhadap
suku-suku lokal di Benua Amerika yang dilakukan oleh bangsanya?
Iroquois, Cherokee, Navajo, dll.
Perang Makassar yang melibatkan Kesultanan Makassar dengan VOC juga terjadi direntang tahun yang berdekatan dengan Perjanjian Westfalen dan kalau tidak salah, Galilleo masih hidup. Apakah ia peduli dengan Kolonialisme yang dilakukan VOC? Saya juga ingat, bagaimana sistem Legislatif, Yudikatif, dan Eksekutif dalam pemerintahan berbagai bangsa di dunia ini bermula dari Trias Politikanya Montesquieu. Rumusan Trias Politika itu tidak jauh setelah Perjanjian Giyanti ditandatangani. Perjanjian sebagai penacap kekuasaan VOC di tanah Jawa, negeriku. Apakah Montesquieu tau? Tidak.
Saya menyangkal. Bagaimana Newton dan Montesquieu bisa tahu dengan kejadian di belahan dunia lainnya. Teknologi belum maju! Nah. Itu dia. Teknologi belum maju. Mereka tidak bisa apa-apa. Mereka goblok. Mungkin sama gobloknya dengan Einstein yang dipuja-puja dengan Relativitas umumnya dan tanpa berdosa ia ikut Manhattan Project. Sungguh, Einstein jenius. Manhattan Project mengantarkan Amerika Serikat ke dalam penemuan bom atom dan disempurnakan lagi menjadi Nuklir. N-u-k-l-i-r, barang mewah untuk memusnahkan manusia yang dibalut dengan bumbu-bumbu intelektual. Intelektual tai kucing!
Banyak lagi kemuakkan saya dengan ilmu pengetahuan atau hal-hal terkait dengan itu. Dan jangan lupa saya juga jenuh melihat umat beragama di Indonesia ini.
Jadi, lebih baik memujua bokong kuali. B-o-k-o-n-g K-u-a-l-i. Hitam legam seperti rakyat miskin yang butuh uluran tangan manusia berperikemanusiaan. Sungguh, ikutlah dengan saya. Jadi pemuja bokong kuali. Jika tidak mau ikut dengan saya, maka yakinkanlah, mengapa saya harus meninggalkan pemujaan terhadap bokong kuali!
Perang Makassar yang melibatkan Kesultanan Makassar dengan VOC juga terjadi direntang tahun yang berdekatan dengan Perjanjian Westfalen dan kalau tidak salah, Galilleo masih hidup. Apakah ia peduli dengan Kolonialisme yang dilakukan VOC? Saya juga ingat, bagaimana sistem Legislatif, Yudikatif, dan Eksekutif dalam pemerintahan berbagai bangsa di dunia ini bermula dari Trias Politikanya Montesquieu. Rumusan Trias Politika itu tidak jauh setelah Perjanjian Giyanti ditandatangani. Perjanjian sebagai penacap kekuasaan VOC di tanah Jawa, negeriku. Apakah Montesquieu tau? Tidak.
Saya menyangkal. Bagaimana Newton dan Montesquieu bisa tahu dengan kejadian di belahan dunia lainnya. Teknologi belum maju! Nah. Itu dia. Teknologi belum maju. Mereka tidak bisa apa-apa. Mereka goblok. Mungkin sama gobloknya dengan Einstein yang dipuja-puja dengan Relativitas umumnya dan tanpa berdosa ia ikut Manhattan Project. Sungguh, Einstein jenius. Manhattan Project mengantarkan Amerika Serikat ke dalam penemuan bom atom dan disempurnakan lagi menjadi Nuklir. N-u-k-l-i-r, barang mewah untuk memusnahkan manusia yang dibalut dengan bumbu-bumbu intelektual. Intelektual tai kucing!
Banyak lagi kemuakkan saya dengan ilmu pengetahuan atau hal-hal terkait dengan itu. Dan jangan lupa saya juga jenuh melihat umat beragama di Indonesia ini.
Jadi, lebih baik memujua bokong kuali. B-o-k-o-n-g K-u-a-l-i. Hitam legam seperti rakyat miskin yang butuh uluran tangan manusia berperikemanusiaan. Sungguh, ikutlah dengan saya. Jadi pemuja bokong kuali. Jika tidak mau ikut dengan saya, maka yakinkanlah, mengapa saya harus meninggalkan pemujaan terhadap bokong kuali!
Comments